Jumat, 05 November 2010

DAKWAH KONPREHENSIF

DAKWAH KONPREHENSIF
(TEORI DAKWAH MIKRO DAN MAKRO)
Oleh : Prio Hotman

A. Pendahuluan.

Ada korelasi timbal balik antara dakwah sebagai instrumen penyebaran ajaran Islam dan Islam sebagai agama dakwah. Di satu sisi, dakwah lekat dengan karakteristik agama Islam, artinya karakteristik dakwah pada dasarnya karakteristik islam itu sendiri . Di sisi lain, ketika Islam didakwahkan, ia akan menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, dari yang mikro hingga yang makro . Seperti agama Islam, dakwah Islam juga berkarakteristik konprehensif. Islam sebagai pedoman hidup dunia akhirat, meliputi sejumlah sistem dan regulasi dari berbagai aspek formulasi, konstruksi dan perbaikan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dari mulai dogma, ritual hingga moral . Dengan karakteristik demikian, maka dakwah sebagai instrumen penyebaran Islam tentu juga harus berkarakteristik komperehensif . Dakwah yang komprehensif, berarti proses transformasi pesan-pesan Islam harus menjangkau berbagai sudut-sudut strategis kehidupan manusia, dari mulai ranah individu hingga kolektif, dari hal yang remeh-temeh hingga yang memiliki tingkat urgensi dalam kehidupan masyarakat .
Seperti telah disinggung, dakwah yang komprehensif meliputi bidang makro dan mikro. Dakwah makro, berarti bahwa pesan-pesan dakwah yang disampaikan berkaitan dengan lingkup kehidupan yang luas . Ini berarti bahwa dakwah bidang makro memiliki implikasi pada sejumlah bidang kehidupan yang signifikan . Sedangkan dakwah mikro berarti bahwa pesan-pesan dakwah lebih terkait pada bidang kehidupan "pinggiran" yang tidak memiliki implikasi luas terhadap sejumlah bidang kehidupan lainnya . Dalam kaitan ini, dakwah tidak hanya mementingkan satu bidang dan mengabaikan bidang lainnya. lebih dari itu, dakwah memiliki intens pada seluruh bidang kehidupan baik makro maupun mikro sekaligus. Hal demikian agaknya dipengaruhi oleh karakteristik komprehensifitas Islam sebagai agama dakwah yang memiliki perhatian penuh kepada seluruh sendi kehidupan manusia. Islam sebagai agama dakwah yang universal, memandang bidang kehidupan makro sebagai bidang kehidupan yang didirikan di atas banyak bidang kehidupan mikro. Sebaliknya bidang kehidupan mikro bisa tetap eksis melalui dukungan bidang kehidupan yang meliputi aspek luas (makro) .
Satu hal penting yang mesti diluruskan adalah komprehensifitas Islam dalam hal ini juga harus dipahami secara proporsional . Dalam kaitan ini, pernyataan mengenai Islam sebagai agama yang komprhensif bukan berarti Islam berisi seluruh aturan yang terperinci dan tersusun secara sistematis atau blue print yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupan individu dan masyarakat, seperti yang selama ini dipahami. Lebih dari itu, komprehensifitas Islam lebih menekankan pada nilai moral dan kaidah-kaidah umum yang memerlukan proses ijtihadi lebih lanjut . Ketentuan terperinci agama yang telah melalui proses, biasanya telah mengalami reduksi sedemikian rupa sehingga ruang lingkupnya lebih sempit. Dalam kaitan dakwah, maka ketentuan-ketentuan terperinci tersebut lebih berperan dalam ranah dakwah mikro . Berbeda dengan dasar moral dan kaidah umum yang menjadi bahan baku regulasi agama yang masih memiliki lingkup yang masih luas. Dalam kaitan ini, maka dasar-dasar moral dan kaidah-kaidah umum tersebut lebih berperan dalam ranah dakwah makro .


B. Islam Sebagai Agama Universal.

Pembicaraan mengenai universalisme Islam berangkat dari keyakinan bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Sebagai nabi terakhir, tentunya ajaran Islam yang dibawanya mesti melampaui waktu (time) dan lokasi (place). Hal demikian dimaksudkan agar ajaran agama tersebut mampu mengcover karakteristik manusia yang beraneka ragam dari tempat dan jaman yang berlainan . Karakteristik universalitas Islam dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, universalitas dipandang dari materi ajaran. Kedua, universalitas dipandang dari lingkup sasaran dakwah. Ketiga, universalitas dipandang dari temporalitas ajaran.
Dari sudut materi ajaran, Islam dipandang sebagai agama universal. Hal ini menegaskan bahwa Islam memiliki materi ajaran yang berbicara tentang berbagai sudut kehidupan manusia yang beragam, dari yang urgen hingga yang remeh temeh. Persoalan ini akan lebih jelas melalui perspektif fikih yang membicarakan persoalan dengan kompleksitas seperti kenegaraan (fiq al daulah) hingga persoalan yang sederhana seperti istinja (fiq al taharah). Walaupun terdapat perbedaan pemahaman dikalangan sarjana muslim seputar permasalahan wilayah mana saja dari materi ajaran islam yang termasuk universal dan partikular, namun seluruhnya sepakat bahwa Islam tidak melupakan satupun aspek dari kehidupan manusia . Lebih jauh universalitas ajaran Islam memberi nilai dan arahan baik secara tekstual maupun konstekstual, tersurat maupun tersirat terhadap seluruh persoalan kemanusiaan .
Banyak dari teks al Qur'an maupun hadist yang berbicara mengenai pengutusan nabi Muhammad kepada segenap umat manusia, dan bukan kepada ras atau bangsa tertentu . Dengan kenyataan demikian, menunjukkan satu sudut lain dari karakteristik universalitas Islam yakni sasaran dakwah. Konsekuensi logis dari pengutusan tersebut, risalah nabi harus diteruskan oleh para aktivis dakwah kepada segenap bangsa dipelbagai belahan dunia. Dengan pandangan demikian ini berarti sasaran dakwah haruslah mesti bersifat universal atau kosmopolitan, bukan partikular dan lokal .
Sedangkan mengenai temporalitas ajaran, Islam juga mengklaim sebagai agama universal. Hal ini berarti Islam mengakui bahwa ajaran yang dibawanya selalu bersifat aktual dan solustis. Aktual dalam arti bahwa ajaran yang dibawa Islam bergerak selaras dengan dinamika pergeseran waktu (jaman) yang selalu berubah . Dengan demikian berarti Islam memiliki fleksibilitas yang memungkinkannya untuk membentuk pos-pos historis ajaran Islam . Solustis dalam arti bahwa ajaran yang dibawa Islam mampu menanggapi, mencermati dan memberikan jalan keluar terhadap pelbagai persoalan kemanusiaan yang kompleks dan beraneka ragam sejalan dengan kompleksitas dan perkembangan budaya dan peradaban manusia itu sendiri. Dengan karakteristik demikian, ajaran Islam mestilah berupa tujuan-tujuan pokok (maqasid al Syari'ah) yang hanya memberi batasan dan arahan bukan justifikasi dan ketentuan baku. Dengan fleksibilitas dan pokok tujuan itulah ajaran Islam menjadi universal dan lepas dari temporasi waktu .
Dari ketiga sudut pandang mengenai universalitas Islam tersebut, hemat penulis masalahnya terdapat pada sudut pandang terakhir. Jika Islam sebagai agama universal dimaknai sebagai agama yang lentur dan berupa tujuan-tujuan pokok, maka akan ditemukan keberatan dalam hal konsistensi ajaran. Pandangan ini mempertanyakan letak kebakuan dan kesucian ajaran Islam sebagai wahyu Tuhan, bukannya pandangan manusia yang profan dan mudah berubah. Sampai di sini mesti diklasifikasikan antara mana-mana ajaran yang baku dan ajaran yang mudah berubah. Pertanyaan tersebut dapat dijelaskan melalui kaidah fikih yang berbunyi " pada dasarnya dalam bidang ibadah ritual seorang mukallaf dituntut untuk melaksanakannya tanpa berpaling terhadap motifnya, sedangkan dalam bidang mua'malah pada dasarnya berpaling lebih dahulu melihat apa motifnya" . Menurut kaidah ini, ajaran-ajaran baku dalam Islam lebih kepada hal-hal yang sifatnya tidak dapat dijangkau oleh nalar dan kebudayaan manusia karena sifatnya yang suci dan transendental. Sedangkan perubahan dan fleksibilitas ajaran lebih kepada aspek-aspek yang memerlukan penalaran dan terkait dengan kebudayaan manusia .
Makna-makna seperti tersebut di atas, menegaskan bahwa Islam sebagai agama universal pada dasarnya terkait dengan dua kenyataan timbal balik. Pertama, kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk beragama (homo religion), hal ini berarti pada dasarnya manusia adalah mahluk dengan keinginan penuh dan kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggap super. Inilah pandangan yang mengatakan bahwa sebetulnya tidak ada manusia yang tidak bertuhan, setiap manusia melepaskan ikatan dari "tuhan" tertentu berarti ia telah terikat dengan "tuhan" yang lainnya . kedua, kenyataan di sisi lain bahwa Islam diciptakan sebagai agama fitrah, selaras dengan karakteristik pencipataan manusia. Artinya nurani manusia tidak akan bisa tenang kecuali jika kecenderungan dan keinginan bertuhan itu diarahkan kepada kepasrahan dan ketundukan terhadap Tuhan pencipta alam yang satu (Islam). Karena Islam adalah naluri fitriah manusia, sebagai konsekuensi logisnya dakwah Islam merupakan satu kebutuhan mutlak bagi manusia di antara daftar panjang kebutuhan-kebutuhan manusia yang begitu banyaknya .



C. Posisi Dakwah Dalam Tingkatan Kebutuhan Manusia.

Manusia sebagai mahluk multi dimensi, baik secara fisik maupun mental, hidupnya sangat tergantung pada pemenuhan faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi eksistensinya. Faktor-faktor tersebut lebih lanjut dikenal dengan istilah kebutuhan hidup manusia. Ada dua kategori tingkat kebutuhan manusia, materi dan non materi, kemudian masing-masing kategori membawahi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan tingkat urgensinya terhadap eksistensi manusia. Penulis tidak memandang eksistensi mansuia dalam artian fisik ansich, lebih jauh, hemat penulis eksistensi di sini juga meliputi eksistensi mental dan kejiwaan. Atas dasar pernyataan ini, berarti eksistensi manusia bukan hanya ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan fisik-materi belaka, lebih dari itu, juga ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mental- non fisik. Hal demikian agaknya terkait dengan eksistensi manusia itu sendiri yang bukan hanya mahluk fisik, tetapi juga mahluk spiritual .
Faktor fisikal yang terdapat pada manusia menyebabkan hidup fisiknya memiliki ketergantungan pada sejumlah faktor-faktor tertentu, yang jika tidak terpenuhi maka kehidupan manusia akan terganggu secara fisik. Kebutuhan fisik tersebut bertingkat-tingkat menurut tuntutan penyegeraannya bagi eksistensi kehidupan fisik manusia, dari yang harus segera dipenuhi hingga yang bisa ditunda pemenuhannya. Mengenai hal ini, para ahli telah menjelaskannya dalam banyak literatur. Di sisi lain, manusia sebagai mahluk spiritual, eksistensinya juga tergantung dari pemenuhan sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non fisik. Baik kebutuhan fisik, maupun non fisik keduanya menentukan eksistensi manusia secara komprehensif. Pengabaian satu kebutuhan terhadap lainnya menyebabkan kepincangan eksistensi hidup manusia, keadaan tersebut dapat disamakan dengan keadaan tidak eksis. Sebab eksistensi manusia sebagai mahluk multi dimensi fisik-spiritual tidak dapat ditentukan dengan salah satunya dan tidak yang lainnya.
Dengan logika di atas, dapat dipahami lebih jauh bahwa ada kesetaraan urgensitas antara kebutuhan fisik dan kebutuhan non fisik dalam kaitannya untuk menentukan eksistensi manusia. Pertanyaan lain yang dapat diajukan ialah, jika antara kebutuhan fisik dan non fisik itu berada posisi setara, lalu di manakah letak stratafikasi kebutuhan-kebutuhan tersebut dipandang dari sudut urgensitasnya? Jawaban dari pertanyaan ini hemat penulis akan ditemukan jika yang kita bisa menjawab pertanyaan lainnya, manakah yang lebih urgen, eksistensi manusia sebagai individu, atau eksistensi kolektifitas manusia.
Jika melihat tujuan penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan yang diberi mandat untuk mengolah bumi ini, maka akan sampai pada satu pandangan bahwa tujuan tersebut tidak dapat diwujudkan kecuali jika manusia hidup berkumpul dan saling menggunakan kelebihannya satu sama lain. Jika tujuan utama penciptaan manusia itu berhasil dilakukan, berarti eksistensi manusia diakui, sebaliknya, manusia individuil an sich tidak dinilai eksis kecuali jika peranannya terlibat dalam kelompok. Manusia dalam kapasitas sebagai orang perorang tidaklah dapat melaksanakan tujuan tersebut, ini berarti dalam kapasitas tersebut manusia tidak bisa diperhitungkan eksistensinya. Atas dasar pandangan ini, maka eksistensi manusia itu pada hakekatnya adalah eksistensi manusia dalam kapasitas kolektifnya. Jika kesimpulan demikian dikaitkan dengan kebutuhan manusia, maka akan di pahami bahwa kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya dimulai dari kebutuhan manusia yang terkait dengan eksistensi kolektif, baru kemudian yang menyangkut eksistensi individu.
Jika tesis di atas dapat diterima, berarti kebutuhan manusia akan pranata yang relevan dengan keseimbangan struktur kehidupan sosial seperti dakwah adalah kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya di antara seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia. Dakwah dinilai sebagai kebutuhan paling tinggi, karena hanya dengan dakwah keteraturan hidup manusia secara kolektif dapat dibangun dan dikontrol. Itulah sebabnya dalam al Qur'an disebutkan bahwa masyarakat kafir Quraisy yang mengusir nabi, mereka tidak akan bertahan lama eksistensinya . Ramalan al Qur'an tersebut ternyata terbukti ketika beberapa tahun berikutnya nabi dan pasukannya membebaskan kota Mekah dan melenyapkan eksistensi masyarakat jahiliah di kota tersebut.
Selanjutnya mengikuti di bawahnya kebutuhan akan instrumen pengembangan sosial seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan. Demikian dinilai, karena kebutuhan akan lembaga kemasyarakatan dinilai perlu sebagai penunjang jalannya dakwah. Adapun kebutuhan-kebutuhan fisik yang bersifat individuil, posisinya berada di bawah kedua kebutuhan di atas dengan pertimbangan bahwa urgensitasnya yang tidak berpengaruh langsung terhadap eksistensi manusia secara kolektif.
Sampai di sini kiranya di temukan alur pikir terhadap pokok permasalahan yang dikaji. Pertama, untuk mempertahankan eksistensinya manusia sebagai mahluk fisik-spriritual tergantung kepada sejumlah kebutuhan, baik fisik maupun spiritual. Kedua, kedua kebutuhan tersebut memiliki kesetaraan tingkatan secara fungsional dan perbedaan tingkatan secara urgensial. Ketiga, perbedaan tingkatan urgensial tersebut dilatar belakangi oleh hakekat manusia sebagai mahluk sosial. Keempat, dakwah memiliki peran besar dalam mempertahankan eksistensi sosial manusia. kelima, karena itu, dakwah merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi secara urgensial.

D. Fungsi Agama Bagi Kehidupan Masyarakat Dunia.

Pada hakekatnya, tesis mengenai kebutuhan manusia terhadap dakwah dapat dipahami dari fungsi agama bagi kehidupan masyarakat dunia. Mengingat dakwah adalah instrumen untuk mensosialisasikan agama (baca: Islam), maka dalam hal ini kebutuhan manusia akan dakwah di dasari oleh kebutuhan manusia terhadap agama itu sendiri. Secara psikis, manusia adalah mahluk agama (homo religion), artinya secara naluri jiwa manusia memiliki kecondongan untuk tunduk kepada suatu kekuatan super yang mengarahkan dan memberi nilai pada tingkah laku manusia. ketundukan pada kekuatan supranatural itu lebih lanjut di sebut sebagai agama.
Bagi individu, agama sebagai suatu kebutuhan spirituil manusia memberikan ketenangan dan perasaan damai yang tidak dapat diberikan oleh kebutuhan manusia yang lainnya. Dalam Islam, agama disebut sebagai fitrah, artinya kecenderungan keberagamaan yang melakat pada diri manusia sudah terbawa sejak kelahirannya. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama karena agama dalam posisi demikian menjadi kebutuhan manusia. Karena agama merupakan kebutuhan intrinsik manusia, maka ketika manusia berusaha berlari dari agama, ia akan mencari alternatif pengganti agama itu walaupun ia tidak akan pernah mendapatkannya.
Sebagai mahluk multidimensi, manusia memerlukan agama untuk memahami berbagai fenomena dunia yang tidak mampu dipahami oleh rasionya. Akal manusia punya wilayah tersendiri, di sisi lain banyak sekali persoalan hidup yang tidak mampu dipahami rasio, di sinilah peran keimanan agama berperan.
Sedangkan bagi masyarakat, agama bisa memaksa orang untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, mengarahkan dan memberi warna pada perilaku dan sikap seseorang. Sebagai keyakinan, agama berpotensi menciptakan peraturan-peraturan bagi individu secara khusus dan masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Agama sebagai keyakinan kolektif, membentuk suatu nilai umum yang disepakati bersama. Hal ini sangat berguna dalam menyelaraskan antara kepentingan dan kewajiban individu dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya agama, masyarakat bisa menentukan suatu konsesus yang menentukan arah perkembangan masyarakat tersebut. Minimal, eksistensi agama dapat memelihara terwujudnya ketertiban dalam hidup masyarakat.
Dalam hubungan kehidupan masyarakat dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama berperan memberi arahan melalui nilai-nilai moral dalam mencegah lahirnya penemuan-penemuan bebas nilai yang akhirnya membawa kemadaratan bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut Ghalab, seperti dikutip Burhanudin Salam, sepanjang sejarah agama telah memberikan banyak kontribusi bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun dalam kapasitas kolektif. Pertama, petunjuk-petunjuk agama mengarahkan perilaku masyarakat untuk berbuat baik dan meninggalkan kejahatan, karena itu agama dapat mengurangi munculnya kejahatan. Kedua, aturan-aturan agama berisikan sangsi bagi mereka yang melakukan tindakan pidana. Atas dasar aturan tersebut, agama memiliki peran dalam mengurangi tindak pidana dalam masyarakat. Ketiga, agama juga berisi ajaran-ajaran yang berorientasi akhirat dan menjauhi dunia. Atas dasar ajaran tersebut, syahwat berlebih yang menghancurkan dapat ditekan dan ditumpulkan. Keempat, harapan-harapan yang ditawarkan agama bisa menenangkan dan membahagiaan jiwa manusia. melalui harapan tersebut, manusia memiliki sikap optimis dalam menjalani hidup .
Islam sebagai agama juga memiliki peran-peran tersebut di atas, namun berangkat lebih jauh. Dalam kaitan ini, Islam mengklaim memiliki ide-ide yang tidak terdapat dalam agama lainnya. Ide-ide tersebut tertuang dalam klaimnya yang menawarkan konsep balancing. Mengenai aspek individu, Islam mendorong keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual, dunia dan akhirat. Atas dasar keseimbangan tersebut, Islam memiliki fungsi yang besar dalam membangun individu-individu yang beorientasi akhirat, namun berwawasan duniawi. Dalam kehidupan global, karakter individu demikian sangat penting dalam pengembangan peradaban dunia yang terhubung dengan alam transenden.
Dalam bidang hukum, Islam mengaku memberikan ruh pada bidang ritual-formal sehingga tidak melulu bersifat kaku, lebih dari itu, islam lebih mementingkan tujuan dan substansi hukumnya. Dengan karakteristik demikian, Islam memiliki peran besar dalam memberikan arahan hukum, terutama jika menyentuh wilayah hukum publik atau kenegaraan. Hukum dalam pandangan Islam bisa berubah sejalan dengan berubahnya kondisi maupun ketentuan penyebab hukum tersebut (illat). Dengan pandangan demikian ini, Islam memiliki peluang besar untuk merambah berbagai kondisi masyarakat atau negara dengan indegenous yang berbeda-beda.
Dalam kehidupan global-internasional, Islam bersama agama lain memprakarsai lahirnya ide perdamaian, kerukunan dan kehidupan yang demokratis. Dengan karakteristik demikian, Islam memiliki peran dalam membentuk kehidupan dunia yang damai dan sinergis demi terwujudnya fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi.
Secara khusus, fungsi dan karakteristik Islam sebagai agama seperti yang diuraikan di atas, akhirnya bermuara pada tujuan-tujuan dakwah. Tujuan dakwah sebagai Instrumen penyebaran Islam memiliki sasaran yang sangat luas, dari wilayah mikro hingga makro. Seperti uraian sebelumnya, tujuan mikro dan makro dakwah tidaklah lepas dari karakteristik Islam sebagai agama universal.

E. Tujuan Dakwah Mikro.
Karakteristik Islam yang universal, menentukan luasnya arah tujuan dakwah. mengenai tujuan dakwah mikro, aspek-aspek kehidupan yang menjadi sasarannya biasanya meliputi bidang kehidupan yang pengaruhnya terbatas pada tataran individu atau bidang kehidupan yang tidak berpengaruh luas terhadap bidang kehidupan lainnya. Dalam kaitan ini, peran dakwah adalah mensosialisasikan ketentuan-ketentuan khusus berupa formulasi yang disarikan dari ketentuan umum agama.
Karena terkait dengan aspek kehidupan individu dan implikasinya terbatas, maka materi dakwah dalam ruang lingkup mikro lebih mengutamakan rumusan-rumusan baku yang didapat dari pemahaman nas-nas agama. Hal demikian dimaksudkan dengan dua alasan berikut. Pertama, ruang lingkup mikro dakwah bersifat aplikatif dan menghendaki penanganan segera. Dengan demikian, perlu kiranya sebuah rumusan yang siap pakai berupa arahan-arahan yang sistematis. Kedua, aspek dakwah mikro menyentuh wilayah kehidupan lokal yang jangkauan implikasinya tidak luas. Karena itu kaidah dasar dalam kaitan ini tidak relevan, melainkan aturan-aturan yang telah dirumuskan dan sistematis.
Dengan karakteristik demikian, maka tujuan dakwah dalam ruang lingkup mikro terarah pada sasaran-sasaran berikut. Pertama, mensosialisasikan keyakinan tauhid pada tiap individu. Kedua, menegakkan pelaksanaan ibadah ritual melalui sosialisasi petunjuk-petunjuk aplikatif. Seperti mendakwahkan cara-cara melaksanakan salat, puasa dan sebagainya. Ketiga, mengarahkan dan membangun karakter individu melalui nasehat-nasehat agama. Keempat, membentuk keserasian pergaulan antar individu dalam lingkup lokal, seperti hubungan antar anggota keluarga, maupun bertetangga. Kelima, mengembangkan budaya amar ma'ruf nahi munkar dalam ranah fardiah.
Tujuan-tujuan seperti di sebut di muka, hanya bisa diwujudkan dengan rincian-rincian dari ajaran agama yang telah direduksir dalam bentuk pemahaman agama (fiqh al din). Karena sifatnya yang berupa pemahaman dan reduksionir, maka rumusan-rumusan yang didakwahkan bisa berubah seiring berubahnya pemahaman terhadap ketentuan induk.

F. Tujuan Dakwah Makro.
Jika ruang lingkup dakwah mikro lebih menekankan pada aspek fiqih, maka dakwah dalam lingkup makro lebih berfokus kepada nilai-nilai umum dan kaidah dasar agama. Hal demikian agaknya dipengaruhi oleh jangkauannya yang luas dan menyentuh aspek-aspek kehidupan umum dan aspek kehidupan yang memiliki implikasi yang besar pada sejumlah bidang kehidupan lainnya. karena karakteristik yang demikian ini, maka tidak akan ditemukan formula baku atau rumusan-rumusan yang tersusun sistematis dalam ranah dakwah makro.
Ketiadaan ketentuan atau rumusan baku dalam lingkup dakwah makro dapat dipahami melalui teori dakwah komprehensif. Luasnya lingkup kehidupan makro mengharuskan pemahaman yang utuh terhadap kompleksitas dan konstelasi berbagai elemen-elemen yang terkait di dalamnya. Pemahaman yang utuh tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, dari mulai latar belakang permasalahan, indegenous dan orisinalitas lingkup masalah yang akan dipecahkan hingga elemen pengaruh dan bidang-bidang yang diperkirakan akan terimplikasi darinya. Dengan pertimbangan demikian, maka seharusnyalah dakwah dalam lingkup makro lebih mementingkan nilai dan kaidah umum agama (maqasid al syari'ah) ketimbang rumusan baku dan formal.
Melalui nilai dan kaidah umum agama tersebut, maka dapat dipahami pernyataan tentang keuniversalan Islam. Nilai umum yang berupa etika dan moral agama diperlukan sebagai basis pijakan bagi dakwah. Sedangkan kaidah umum diperlukan agar kebijakan-kebijakan yang diperoleh melalui ijtihad tidak keluar dari tujuan Islam secara umum, dan kondisi lingkungan tempat kebijakan tersebut diputuskan secara khusus.
Atas dasar logika demikian, maka arah tujuan dakwah makro pada hakekatnya bermuara pada hal-hal berikut. Pertama, membudayakan nilai-nilai tauhid dalam berbagai pranata kehidupan masyarakat luas. Kedua, menanamkan ruh ibadah ritual dalam praktek ibadah sosial. Ketiga, menciptakan komunitas masyarakat yang sinergis dan integral. Keempat, membentuk sistem kehidupan ekonomi dan politik yang adil dan makmur dan demokratis melalui pranata-pranata sosial. Kelima, membudayakan amar ma'ruf dan nahi munkar dalam masyarakat secara kolektif.

G. Penutup.
Sebagai instrumen penyebaran Islam, tujuan dakwah pada hakekatnya adalah tujuan Islam itu sendiri. Di sisi lain, tujuan diturunkannya Islam adalah sebagai kasih sayang bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin). Artinya kehadiran Islam dengan segala atributnya yang terdiri dari keyakinan, tuntunan dan ajaran harus menjadi berkat bagi eksistensi alam semesta.
Dari segi keyakinan, Islam harus mengarahkan hati dan pikiran manusia agar mempercayai hanya pada satu kebenaran tunggal, yakni Allah. Dari kepercayaan ini, maka kebenaran-kebenaran lain harus dipandang sebagai kebenaran relativ. Dengan kepercayaan ini, manusia tidak boleh menyandarkan kehidupan kepada kebenaran relativ tersebut. Lebih dari itu, penerimaan atau penolakannya harus didasarkan pada pijakan kebenaran yang mutlak dan tunggal.
Dari segi tuntunan, kehadiran Islam harus memberikan arahan-arahan yang jelas dan orientasi serta sasaran yang tepat. Dalam kehidupan manusia, arahan dan orientasi itu adalah kehidupan setelah mati, atau kehidupan akhirat. Atas dasar tuntunan ini, dakwah membimbing dan mengarahkan kehidupan manusia kepada sikap hidup dan prilaku yang benar. Dengan pertimbangan bahwa semuanya akan diperhitungkan dalam alam eskatis tersebut.
Dari segi ajaran, kehadiran Islam harus memberi petunjuk dan rumusan yang jelas mengenai langkah-langkah yang tepat untuk mencapai keyakinan terhadap kebenaran tunggal maupun orientasi eskatis. Langkah-langkah tersebut bisa berbentuk aturan-aturan yang berlaku baik dalam bidang ritual hingga pergaulan sosial, individu maupun kolektif.
Wal hasil, baik tujuan dakwah mikro maupun makro, semuanya bermuara pada satu sasaran. Yakni merubah cara berpikir (way of thinking) maupun cara hidup manusia (way of life). Keduanya diarahkan kepada segenap bidang kehidupan manusia dari mulai ranah individu hingga kolektif. Terkadang dalam bentuk rumusan-ruman baku, dan lain waktu hanya berupa nilai-nilai moral dan kaidah umum. Semuanya di dasarkan atas pijakan teori dakwah komprehensif dan karakteristik dakwah yang universal.
Wallahu A'lam bi al Sawwab.
Catatan Akhir:

___________________________

Menurut Abdul Karim Zaidan, tema dakwah adalah Islam seperti diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya melalui malaikat Jibril. Jika demikian, berarti karakteristik dakwah, pastilah karakteristik Islam itu sendiri. Baca Abdul Karim Zaidan, Usul al Da'wah, (Beiruth: Muassasat al Risalah, 2001), cet. Kesembilan, h. 7.
Abdullah Nasih 'Ulwan menulis "…sesungguhnya syari'at dakwah Islam mencakup atas sistem dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan beragam sisi kehidupan manusia, dari mulai pembinaan, pengembangan hingga perbaikan masyarakat. Baca Abdullah Nasih 'Ulwan, Silsilah Madrasat al Du'at: Fusul al Hadifah fi Fiqh al Da'wah wa Da'iah, (Kairo: Dar al Salam, 2007), Cetakan keempat, h. 26.
Muhammad Ibn Ibrahim al Hamd, Qishat al Basyariah, (Mauqi' al Islam: www.alIslam.Com, tt), h. 34
'Uqail Bin Muhammad Bin Zaid al Muqthary, al Da'wat al Fardiah wa Ahmiyyatuha Fi Tarbiyyat al Ajyal, (Mauqi' al Islam: www.alIslam.Com, tt), h.14.
Ibid.
Bagi Harun Nasution, Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui orang. Islam bukan hanya mempunyai satu-dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Atas dasar wilayah Islam yang begitu luasnya itu, tentunya jika dikaitkan dengan dakwah, maka akan diperoleh pemahaman bahwa dalam keadaan demikian ini meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Dakwah yang meliputi berbagai aspek dalam Islam itulah yang dimaksud dengan dakwah makro. Baca Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2005), Edisi kedua, Jilid 1, h. 27.
Dalam kaitan ini, bidang kehidupan yang signifikan semisal politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan adalah sejumlah unsur kehidupan yang tercakup dalam domain dakwah makro. Dengan demikian, dakwah makro dapat dipahami sebagai wilayah dakwah yang secara fisikal bukan hanya berkenaan dengan bidang agama yang suci, lebih dari itu dakwah makro menembus batas-batas kehidupan sekular yang profan dan sifatnya kolektif. Dakwah dalam ranah ini berarti sebuah usaha infiltrasi nilai-nilai islam dalam aspek-aspek tersebut di atas. Baca Marcell. A. Boisard, L'Humanisme De L'Islam, Alih Bahasa M. Rasjidi, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), h. 184.
Bidang kehidupan pinggiran yang penulis maksud bukan berati memberikan image bahwa bidang ini adalah wilayah yang tidak penting. Dalam kaitan ini, wilayah dakwah mikro lebih mengacu kepada bidang-bidang kehidupan yang secara fisikal memiliki korelasi langsung dengan keagamaan dan sifatnya individual seperti ibadah-ibadah ritual.
Bidang kehidupan ekonomi, politik atau sosial misalnya, tidak mungkin dapat mengalami infiltrasi nilai-nilai islam jika individu-individu yang berkepentingan di dalamnya tidak memiliki kecakapan dalam bidang ibadah. Sebaliknya, kekhusukan serta kebebasan menjalankan ibadah tidak dapat terwujud dalam situasi ekonomi, politik atau sosial yang buruk keadaannya. Ibid, h. 191.
Sebagian orang dari kelompok muslim berpandangan mengenai pernyataan Islam adalah solusi (al Islam huwa al hal) atas segala permasalahan, berarti dalam Islam telah tersimpan segenap formula yang baku sebagai jalan keluar dari berbagai persoalan hidup. Pandangan demikian adalah pandangan yang keliru dan pandangan ini pula yang mewarnai kemunduran Islam di abad pertengahan. Dalam konteks kehidupan kontemporer, pandangan ini mesti diluruskan. Lihat Badrus Syamsi, Islam Dinamis Melawan Islam Stagnan, diakses dari www.Islamlib.Com Pada tanggal 28 Juli 2009. Lihat Juga Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 42.
Ibid.
Ranah dakwah mikro yang berkonsentrasi pada bidang ritual-individualistik, memerlukan langkah-langkah yang bersifat rinci dan praktis bukan petunjuk umum yang genaral dan teoritis. Untuk tujuan tersebut, maka teks-teks agama yang umum diupayakan untuk dipersempit dengan cara mereduksir teks agar dapat diterapkan secara praktis. Dengan proses demikian ini, maka ruang lingkup dakwah mikro lebih menunjukan kepada karakteristik agama yang bersifat khusus dan terperinci ketimbang karakter general dan keluasan agama. Lihat Taufik Adnan Amal, Memikirkan Kembali Islam Konteks Indonesia, diakses pada 18 Agustus 2009 dari www.mail-archive.com.
Dalam bidang fiqih Islam, term yang sering digunakan untuk menunjukan keterlibatan dasar-dasar moral dan kaidah hukum agama dalam ranah kehidupan makro adalah maqasid al syari'ah (tujuan dasar agama). Menurut teori ini, penyusunan regulasi agama dalam kehidupan makro harus diselaraskan dengan tujuan agama itu sendiri. Tujuan-tujuan yang dimaksud adalah menjaga agama (hifz al din), memelihara jiwa (hifz al nafs), memelihara akal (hifz al 'aql), memelihara harta (hifz al mal), dan memelihara keturunan (hifz al nasl). Baca A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.393.
Abdullah Nasih 'Ulwan, Op.Cit, h. 20.
Ibid, h. 22. Bandingkan dengan Abdul Karim Zaidan yang memperinci hukum-hukum Islam kedalam empat kategori pertama, hukum yang berkaitan dengan akidah Islam. Kedua, hukum berkenaan dengan etika (akhlak). Ketiga, hukum yang mengatur hubungan antara mahluk dengan penciptanya dan keempat, hukum yang mengatur hubungan antara manusia. Melalui empat rincian hukum tersebut, Islam tidak melupakan satupun aspek dari kehidupan manusia. lihat Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, h. 53.
'Id al Duwaihis, 'Almaniah Tuharib al Islam, (kuait: Dar al Tuwaiq, 2005), Cet. Pertama, h. 19.
Lihat misalnyaQS al Anbiya' (21): 107, QS al Saba (34): 28, al Nisa (4): 79.
Baca Marcel Boisard, Op.Cit, h. 188.
Dalam Bidang Fiqih terdapat slogan al Islâm Sâlih likulli zaman wa makan (islam selaras dengan perkembangan waktu dan lokasi). Lihat Abudin Nata.ed., Kajian Tematik al Qur'an Tentang Kontruksi Sosial, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 358, Cet. Pertama.
Pos-Pos historis pemikiran Islam sepanjang sejarah dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pos pemikiran klasik. Kedua, pos modernisme. Dan ketiga, pos paska modern. Lebih lanjut Baca Aden Wijdan, dkk., Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), h. 1-2, Cet. Pertama.
Pokok pikiran ini sejalan dengan pengertian tujuan pokok agama (maqasid al syari'ah) yaitu pendekatan-pendekatan umum yang digunakan agama untuk menunjukan karakteristik keluasan aplikasi hukumnya dalam kehidupan manusia. Lihat Maqâsid al syari'ât al Islâmiah, (www.alIslam.com), h. 1.
M.Quraish Shihab, Membumikan Al Qur'an, (Bandung:Mizan, 2006), h. 214.
Ibid.
M.Quraish Shihab, Wawasan al Qur'an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung; Mizan, 2000), h. 23.
Ibid, h. 493.
Ibid, h. 374.
Lihat QS al Isra (17): 76.
Burhanudin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 176.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar